Islam mempunyai empat mazhab besar, yang tokoh-tokohnya terdiri dari Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Pandangan-pandangan dari ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa kedudukan dan penerapan hukum islam.
Mazhab Syafi’i merupakan salah satu diantara empat mazhab tersebut. Sebagaimana diketahui, masing-masing mazhab memiliki karakteristik sendiri-sendiri seiring dengan perkembangan penalaran hukum Islam yang menyertai kemunculannya. Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat hukum islam (fiqh) pada dasarnya merupakan produk ijtihad.
Proses ijtihad guna menggali dan merumuskan sebuah produk hukum bisa dipengaruhi oleh kondisi daerah dimana hukum tersebut dirumuskan. Hal itu mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan meski bersumber dari nash yang sama –al-Qur’an dan sunnah-, seringkali menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda.
Dalam mazhab syafi’i, lahirnya qoul qodim dan qoul jadid seolah membuktikan tes bahwa suatu pemikiran tidak akan lahir dari ruang hampa. Ia muncul sebagai refleksi dari setting social yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial terhadap pemikiran, sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendapat atau pemikiran seseorang merupakan buah dari zamannya. Dalama sejarah Imam Syafi’i menyerap berbagai karakteristik (aliran) fiqh yang berbeda-beda dari berbagai kawasan, Mekkah, Yaman, Irak dan Mesir. Penyerapan tersebut pada akhirnya mempengaruhi alur pemikiran dan penerapan produk hukum yang dihasilkannya.
Dalam makalah ini penulis memfokuskan pada bagaimana kisah hidup Imam Syafi’i, cara pengambilan hukum dan sumber hukumnya, dan lebih pentingnya lagi pada Qoul qadim dan jadid Imam asy-Syafi’i. Karena Imam Syafi’i secara khusus dikenal sebagai pencetus ilmu Ushul fiqh.
B. Pembahasan
1. Biografi Imam Syafi’i
a. Kelahiran
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris al-‘Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i Ibn al-Sa’ib Ibn ‘Ubaid Ibn ‘Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn ‘Abd al-Muthalib Ibn ‘Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat palestina) pada tahun 150 H (767 M.), bersamaan pada tahun itu Imam Abu Hanifah meninggal.[1] Kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah, dan ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.[2]
Imam Syafi’i merupakan manusia dua zaman: lahir pada zaman pemerintahan Umayyah dan meninggal pada zaman pemerintahan Dinasti Bani Abbas. Ketika Imam Syafi’i berumur 19 tahun, Muhammad al-Mahdi diganti oleh Musa al-Mahdi (169-170 H./785-786 M.).[3] ia berkuasa hanya satu tahun. Kemudian ia digantikan oleh Harun al-Rasyid, Imam Syafi’i berusia 20 tahun. Harun al-Rasyid digantikan oleh al-Amin (194-198 H./809-813 M.), dan Amin digantikan oleh al-Makmun (198-218 H./813-833 M.).[4]
Imam Syafi’i belajar hadits dan fikih di Mekkah dengan tokoh-tokoh ahl-al-Hadits[5], seperti Muslim Ibn Khalid al-Zinji (w. 179)[6] dan Sufyan bin Uyainah (w. 198).[7] Setelah itu, ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Ketika Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179 H., Imam Syafi’i ingin memperbaiki taraf hidupnya. Secara kebetulan, ketika itu gubernur Yaman datang ke Mekkah, atas bantuan beberapa orang Quraisy, Imam Syafi’i diangkat oleh gubernur tersebut menjadi pegawai di Yaman.[8]
Nasib baik Imam Syafi’i untuk memperbaiki taraf hidupnya tidak berjalan lama. Gubernur Yaman –yang mengangkatnya menjadi pegawai- menuduh Imam Syafi’i bersekongkol dengan Ahl al-Bayt untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahannya. Pada tahun 184 H., khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan supaya Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya. Akan tetapi Imam Syafi’i dapat melepaskan diri dari tuduhan tersebut, atas bantuan seorang qadhi (hakim) di Baghdad yang bernama Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani[9] kemudian ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani (salah satu tokoh ahl al-ra’y[10]) dan yang lainnya untuk mempelajari fikih Irak.[11]
Kemudian Imam Syafi’i kembali ke Mekkah setelah mempelajari fikih Irak. Di Masjid al-Haram, Imam Syafi’i mengajarkan fikih dalam dua corak, yaitu corak Madinah dan corak Irak. Ia mengajar di Masjid al-Haram selama 9 tahun. Pada waktu itulah, ia menyusun thuruq al-Istinbath al-ahkam. Pada tahun 195 H., Imam Syafi’i kembali ke Baghdad untuk melakukan diskusi tentang fikih. Ia tinggal di Baghdad yang kedua kalinya selama dua tahun beberapa bulan.
Ia tidak lama tinggal di Baghdad karena pemerintahan sedang di pimpin oleh al-Makmun (198 H.) dari Dinasti bani Abbas. Al-Makmun cendrung berpihak kepada unsur Persia yang ketika itu telah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat secara besar-besaran di antaranya dilakukan oleh Hunain Ibn Ishak yang telah menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 14 buku lain ke dalam Bahasa Arab,[12] dan dekat kepada Mu’tazilah, bahkan Mu’tazilah dijadikan Madzhab negara secara resmi yang berakhir dengan kasus mihnat. Sedangkan Imam Syafi’i cenderung menjauhkan diri dari orang-orang Mu’tazilah. Ketika al-Makmun meminta Imam Syafi’i untuk menjadi hakim besar di Baghdad, Imam Syafi’i menolaknya. Ia keluar dari Baghdad dan berangkat menuju Mesir.[13]
b. Guru dan Murid Imam Syafi’i
Sebagian telah disebutkan di atas, di Madinah Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kufah, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi yang telah membantunya melepaskan diri dari tuduhan konspirasi politik dengan Ahl al-Bayt. Imam Malik merupakan puncak tradisi Madrasah Madinah (hadits), dan Abu Hanifah adalah puncak Madrasah Kufah (Ra’y). Dengan demikian, Imam Syafi’i dapat dikatakan sebagai sintesis antara aliran Kufah dengan aliran Madinah.
Disamping itu, Imam Syafi’i berguru kepada beberapa Ulama selama tinggal di Yaman, Mekkah, dan Kufah.[14] Diantara Ulama Yaman yang dijadikan guru oleh Imam Syafi’i adalah,
1) Mutharraf Ibn Ma-zim
2) Hasyim Ibn Yusuf
3) Umar Ibn Abi Salamah
4) Yahya Ibn Hasan
Selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada guru terkemuka. Di antara Ulama mekkah yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah,
1) Sufyan Ibn Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zanji
3) Sa’id Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn ‘Abd al-Rahman al-Aththar
5) ‘Abd al-Hakim ‘Abd al-‘Aziz Ibn Abi Zuwad.
Diantara Ulama Madinah yang dijadikan guru oleh Imam Syafi’i adalah,
1) Ibrahim Ibn Sa’ad al-Anshari
2) ‘Abd al-‘Aziz Ibn Muhammad al-Dahrawardi Ibrahim Ibn Yahya al-Aslami
3) Muhammad Ibn Sa’id Abi Fudaik
4) ‘Abd Allah Ibn Nafi’.
Disamping guru, Imam Syafi’i memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fikih Imam Syafi’i dan ada pula yang mendirikan aliran fikih tersendiri. Diantara murid Imam Syafi’i adalah,
1) Al-Za’farani al-Kurabisyi
2) Abu Tsaur
3) Ibn Hanbal al-Buthi
4) Al-Muzani
5) Al-Rabi’ al-Muradi di Mesir
6) Abu ‘Ubaidah al-Qasim Ibn Salam al-lughawi di Irak.[15]
Dalam menguasai fikih madinah, Imam Syafi’i berguru langsung kepada Imam Malik, sedangkan Fikih Irak, ia berguru langsung kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang merupakan pelanjut fikih Hanafi. Disamping itu, mempelajari fikih al-Auza’i dari Umar Ibn Abi Salamah, dan mempelajari fikih al-Laits kepada Yahya Ibn Hasan.[16]
Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dalam berbagai aliran Fiqh dan hadits bahkan teologi dengan berguru kepada ulama-ulama, telah membuat ia memiliki wawasan luas dengan analisis yang memadai. Ia sangat memahami letak kekuatan dan kelemahan, luas dan sempitnya pandangan tiap-tiap mazhab tersebut. Sangat sulit menebak arus dan aliran pemikiran Imam Syafi’i, selain pemikiran tradisional Malik bin Anas di Madinah, ia pun mempelajari dengan sungguh-sungguh fiqh ulama-ulama Irak. Ia banyak belajar dari Muhammad bin Hasan, salah seorang murid Imam Abu Hanifah yang banyak menyebarkan pemikiran fiqhnya, mendiskusikan berbagai persoalan dengannya. Ini berarti bahwa Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani adalah salah seorang guru dari Imam Syafi’i, dalam memperoleh pemikiran rasional Abu hanifah.[17]
c. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Metode ijtihad (pengambilan hukum) Imam Syafi’i tidak banyak yang berbeda dengan Imam-imam lain,[18] dikarenakan Imam Syafi’i semula merupakan pengikut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Al-Umm, dikutip oleh Manna’ al-Qaththan dalam kitab al-Tasyri’ wa al-fiqh fi al-Islam: Tarikh(an) wa Manhaj(an), mengatakan bahwa:[19]
“ilmu itu bertingkat-tingkat; tingkat pertama adalah al-qur’an dan sunnah. Tingkat kedua adalah Ijma’ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam al-qur’an dan sunnah. Ketiga adalah qaul sebagian sahabat yang tidak ada yang menyalahinya. Keempat adalah pendapat sahabat nabi SAW. Antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda (ikhtilaf); dan yang kelima adalah Qiyas.”
Adapun dalam “Pengantar Perbandingan Mazhab” karya Huzaemah Tahido Yanggo, dipaparkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan hukum adalah:[20]
1) Al-Qur’an dan Sunnah
Imam Syafi’i memandang al-qur’an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau, sunnah itu menjelaskan al-qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan hadits mutawatir. Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi’i menempuh cara, bahwa apabila di dalam al-qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits mutawatir.
2) Ijma’
Ijma’ menurut istilah ushul fiqh ialah kesepakatan para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa.[21] Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah al-Qur’an dan Sunnah sebelum qiyas.[22] Imam Syafi’i menerima ijma’ sebagai hujjah terhadap masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam al-qur’an dan Sunnah.
Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bikan ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui, bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
Disamping itu Imam Syafi’i berteori bahwa tidak mungkin segenap masyarakat Muslim bersepakat dalam hal-hal yang bertentangan dengan al-qur’an dan Sunnah. Beliau juga menegaskan bahwa ia hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukuti[23] menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma’ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.
3) Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya, karena adanya segi-segi persamaan ‘illat antara keduanya.[24] Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam menetapkan hukum.
Imam Syafi’i adalah mujthaid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Syafi’i mendasarkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surah an-Nisa’:59,
... Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnah) ...
Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan rasulnya” itu ialah Qiyaskanlah kepada salah satu, dari al-Qur’an atau sunnah.
2. Qoul-Qodim Dan Qoul-Jadid Imam Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i mengkombinasikan fiqh Hijaz (Mazhab Maliki) dan fiqh Irak (Mazhab Hanafi), dan menciptakan mazhab baru yang didiktekan kepada murid-muridnya dalam bentuk buku yang bernama al-hujjah. Pendiktean berlangsung di irak pada tahun 810 M dan sejumlah muridnya menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain yang dikenal sebagai qoul qadim. Adapun kumpulan pendapatnya saat di Mesir dikenal dengan qoul jadid. Periode ini berbeda dengan periode ketika di Irak dimana beliau banyak merevisi pendapat-pendapat hukumnya yang ia tetapkan saat berada di Irak.[25]
Adanya dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa situasi tempat pun turut mempengaruhi ijtihad Imam Syafi’i. Keadaan di Irak dan di Mesir memang berbeda, sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i. Ketika di Irak, Imam Syafi’i menela’ah kitab-kitab fiqh Irak dan memadukan dengan ilmu yang ia miliki yang didasarkan pada teori ahlu al-hadits.
Kedatangan Imam Syafi’i kedua kalinya ke irak hanya beberapa bulan saja, kemudian ia pergi ke Mesir. Di mesir inilah tercetus qoul jadidnya yang didiktekan kepada murid-muridnya (diantara murid-murid Imam Syafi’i yang terkenal di mesir adalah al-Rabi’ al-Muradiy, al-Buwaithiy dan al-Muzaniy), qaul jadid Imam Syafi’i ini dicetuskan setelah bertemu dengan ulama Mesir dan mempelajari Fikih dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi, dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak.[26]
Dalam mengambil ijtihad Imam Syafi’i disesuaikan dengan Qoidah Usuliyah “Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama”. Ulama Syafi’iyyah telah meneliti dengan seksama dan menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid.
Perbedaan Qoul qodim dan Qoul jadid Imam Al-Syafi’i:[27]
1. Air yang terkena najis.
Qoul qodim: Air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis, selama air itu tidak berubah.
Qoul jadid: Air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis, apakah air itu berubah atau tidak.
2. Bersambung (Muwaalah) dalam berwudhu.
Qoul qodim: bersambung (muwaalah) dalam berwudhu hukumnya wajib karena beralasan, bahwa huruf wau dalam ayat:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ... (QS. Al-Maidah: 6)
Huruf wau dalam ayat tersebut menunjukkan harus berurutan dan beriringan satu sama lainnya sampai selesai.
Qoul jadid: bersambung dalam berwudhu itu hukumnya sunnah karena berdasarkan riwayat, bahwa Rasulullah SAW pernah berwudhu dan menunda membasuh kaki beliau itu.
3. Mandi sebelum melakukan thawaf.
Qoul qodim: disunnahkan mandi sebelum melakukan thawaf (qudum, ifadhah atau wada’), karena pada saat thawaf itu berkumpul atau bercampur dengan orang banyak.
Qoul jadid: tidak disunnahkan mandi sebelum thawaf, karena waktu yang tersedia untuk thawaf itu cukup luas, sehingga biasanya orang tidak berdesak-desakan. Juga karena berdasarkan hadits Nabi yang bersumber dari Aisyah ra.
إنّ اوّل شيء بدأبه النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم – حين قدم مكّة – أنّه توضّأ ثمّ طاف بالبيت.
“Sesungguhnya Nabi SAW begitu beliau sampai ke Mekkah beliau berwudhu dan kemudian thawaf di ka’bah” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum shalat orang yang terdapat padanya najis yang tidak dapat dimaafkan, sedangkan dia tidak tahu.
Qoul qodim: tidak wajib mengqada’ shalat
Qoul jadid: wajib mengqada’ shalat itu, karena suci dalam shalat itu hukumnya wajib. Hukum wajib tidak bisa gugur, karena tidak tahu ada najis, sebagaimana halnya wajib bersuci dari hadats.
5. Batas waktu shalat maghrib
Qoul qodim: diriwayatkan oleh Abu tsaur bahwa Imam syafi’i berpendapat bahwa akhir waktu shalat maghrib adalah hilangnya mega (sinar merah setelah matahari terbenam). Argumen Imam Syafi’i adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abd. Ibn ‘Amr Ibn al-Ash bahwa Rasulullah Saw bersabda:[28]
وقت المغرب إذا غابت الشمس مالم يغب السفق
“Waktu maghrib adalah sebelum mega hilang”
Qoul jadid: Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu shalat maghrib itu sangat singkat, yaitu sebanding dengan waktu bersuci, menutup aurat, adzan, dan iqamat. Adapun alasan beliau adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas ra. Yang menjelaskan bahwa malaikat jibril melakukan shalat maghrib (awal dan akhirnya dalam satu waktu).[29]
Demikianlah beberapa contoh qoul qadim dan qoul jadid Imam Syafi’i. Menurut M. Ali Hasan dalam bukunya “Perbandingan Mazhab” mengatakan, perubahan penetapan hukum yang Imam Syafi’i lakukan dikarenakan beberapa sebab:[30]
1) Beliau menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir, atau dengan kata lain meralat pendapat yang lama.
2) Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi. Faktor yang kedua inilah yang jangkauannya lebih luas, namun tetap terbatas, karena walaupun bagaimana beliau tetap lebih bersifat hati-hati dalam menetapkan suatu hukum, sebagaimana kita lihat dari pendirian beliau menyatakan ketidaksetujuannya dalam menetapkan hukum dengan cara istihsan (Imam Abu Hanifah)
C. Kesimpulan
Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Pada saat Imam Syafi’i di Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi’I kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru, yang dinamakan sebagai Qaul Jadid. Perubahan pendapat pendapat Imam Syafi’i ini adalah sebagai koreksi atas pendapat sebelumnya yang lebih banyak disebabkan oleh temuan hadits baru yang ia tidak dapatkan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Taha Jabir al Alwani, 2001, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: UII Press.
Jaih Mubarok, 2002, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim Dan Qawl Jadid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
T. M. Hasbi ash-Shiddiqi, 1973, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution, 1992, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Dedi Ismatullah, 2011, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Ahmad Kholiq, 2009, Melacak Sejarah Metodologi Ijtihad, Bandung: Sahifa.
Ahmad Hanafi, 1986, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Muh. Zuhri, 1997, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT Raja Grafindo.
Ngainun Naim, 2009, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: Teras.
M. Ali Hasan, 1996, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ahmad Asy-Syurbasi, 2001, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Amzah
Munawwar Khalil, 1955, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang.
[1] Taha Jabir al Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 43; lihat juga, Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah, 2001), hal.141; Munawwar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), hal. 149.
[2] Ahmad Nahrawi ‘Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi’i fi Madzhabaih fi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), hal. 90, dalam Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim Dan Qawl Jadid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 27.
[3] Ahmad Nahrawi ‘Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi’i fi Madzhabaih fi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), hal. 90, dalam Jaih Mubarok, hal. 27.
[4] Ibid.
[5] Ahl al-Hadits atau dikenal dengan mazhab tradisional adalah suatu kelanjutan dari mazhab para sahabat yang khawatir dengan adanya pertentangan dengan nas-nas yang membuat mereka sangat berhati-hati yang dimana mereka tidak pernah terlalu jauh berpedoman kecuali pada nas-nas itu sendiri. Mazhab ini tersebar luas di Hijaz. Imam Madinah, Sa’id bin Musayyab mengatakn bahwa penduduk Mekah dan Madinah tidak begitu banyak kehilangan sumber-sumber fiqh dan pengetahuan tentang hadits, karena mereka mengenal fatwa-fatwa dan riwayat-riwayat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali (sebelum menjadi khalifah), seperti halnya aisyah, Ibn abbas, Ibn Umar, Abu Hurairah dengan demikian tidak terlalu membutuhkan pemakaian ra’y untuk mengistinbathkan hukum. Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 39.
[6] Muslim Ibn Khalid al-Zinji adalah seorang Mufti Makkah.
[7] Taha Jabir al Alwani, hal. 43.
[8] T. M. Hasbi ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Jilid II, hal. 236.
[9] Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani adalah salah satu murid Imam Abu Hanifah.
[10] Ahl ra’y yang jga dikenal sebagai aliran rasionalis adalah hasil dari perkembangan lebih lanjut dari mazhab Umar dan Abdullah Ibn Mas’ud yang diantara para sahabat merupakan tokoh-tokoh terkenal dalam penggunaan ra’y mereka. Selanjutnya, al-Qamah al-Nakha’i, adalah tokoh yang dipengaruhi oleh mereka. Ibrahim kemudian mengajar Hammad Ibn Abu sulayman (w. 120 H) yang seterusnya merupakan guru Imam Abu Hanifah. Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 38.
[11] Ahmad Nahrawi ‘Abd al-Salam, hal. 28.
[12] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 11-12.
[13] Jaih Mubarok, hal. 29; Lihat juga T. M. Hasbi ash-Shiddiqi, hal. 238.
[14] Ahmad Nahrawi ‘Abd al-Salam, (1994: 55-57) dalam Jaih Mubarok, (2002: 27), menginformasikan bahwa Ulama Mekkah yang menjadi guru imam syafi’i adalah: (1) Sufyan Ibn Uyainah, (2) Muslim Ibn Khalid al-Zunji, (3) Sa’id Ibn Salim al-Qadah, (4) Daud Ibn ‘Abd al-Rahman al-‘Athar, dan (5) ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-‘Aziz Ibn Abi Daud. Sedangkan guru-guru Imam Syafi’i dari kalangan ulama madinah adalah: (1) Malik Ibn Anas, (2) Ibrahim Ibn sa’id al-Anshari, ‘Abd al’Aziz Muhammad al-Durawardi, (3) Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Aslami, (4) Muhammad Ibn Sa’id Ibn Abi Fudaik, dan (5) ‘Abd Allah Ibn Nafi’.
[15] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Mesir Qahirah: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1974), jilid II, hal. 222 dalam Jaih Mubaroq, Modifikasi Hukum Islam Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 30.
[16] Jaih Mubarok, hal. 30; lihat juga T. M. Hasbi ash-Shiddiqi, hal. 241.
[17] Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hal. 294; lihat juga Ahmad Kholiq, Melacak Sejarah Metodologi Ijtihad, (Bandung: Sahifa, 2009), hal. 217-218.
[18] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 159.
[19] Jaih Mubaroq, hal. 33.
[20] Ibid., hal. 31-33.
[21] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 49.
[22] Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 114-115.
[23] Ijma’ Sukuti adalah kebulatan yang dianggap ada apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahid lain, tetapi tidak menyatakan persetujuan maupun bantahan.
[24] Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 36; lihat juga Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 63.
[25] Ngainun Naim, hal. 90,
[26] Huzaemah Tahido Yanggo, hal. 124-126.
[27] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 213-220.
[28] Jaih Mubarok, hal. 113; Muhammad Zahid Ibn Hasan al-Kawtsari, Musnad al-Imam al-Mu’tazham wa al-Mujtahid wa al-Muqaddim Abi ‘Abd Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, (Bandung: Dahlan, t.th), hal. 50; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnat, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jilid I hal. 87.
[29] Ahmad Nahrawi ‘Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi’i fi Madzhabaih fi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), hal. 507, dalam Jaih Mubarok, hal. 114.
[30] M. Ali Hasan, hal. 221.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar