Terkadang hal-hal yang penting sangat baik untuk diarsipkan. saya hanya paste dari postingan teman di Fb, Sakinah fithriyah, mahasiswi STAI AL-Ma'arif, yang juga merupakan salah satu anggota dari 'The Center for Gender studies' (CGS).
Artikel ini adalah hasil wawancara wartawan Majalah Hidayatullah, Pak Bahrul Ulum dan Pak Cholis Akbar dengan Dr. Ugi Suharto yang dimuat dalam Majalah Hidayatullah Edisi 01/XVIII Mei 2005 Rabiul Awal 1426. Meskipun saya tidak menuliskan keseluruhan isinya, oleh sebab beberapa pertimbangan, tetapi insyaAllah tidak sama sekali mengurangi maksud yang ingin disampaikan, juga kelengkapan wawancara. Adapun jika terdapat kesalahan dalam peletakkan huruf dan persoalan teknis lainnya, kemungkinan itu berasa dari saya sebagai penyalin. Semoga banyak manfaat bisa kita peroleh darinya.
(Perlu diketahui, ISTAC yang dimaksud dalam wawancara ini adalah ISTAC yang masih berada dalam bimbingan dan arahan langsung Prof Dr Syed Muhammad Naquib Al-Attas)
Kalimat yang becetak tebal adalah daripada Majalah Hidayatullah sedangkan yang bercetak biasa (normal) adalah daripada Dr Ugi Suharto.
Anda banyak membahas tentang Epistemologi Islam. Apa urgensinya bagi ummat?
Biasanya, epistemologi diterjemahkan sebagai teori tentang ilmu. Jadi setiap peradaban punya paham sendiri tentang ilmu, begitu juga Islam. Nah, bagi kita, epistemologi bukan sekadar teori. Epistemologi Islam adalah bagian dari aqidah. Ini sudah dibahas oleh para ulama.
Buku Al-‘Aqaid an-Nasafiyah, misalnya, adalah di antara buku aqidah yang menjadi pegangan bagi ahlus-sunnah wal-jama’ah. Buku itu sudah membicarakan apa yang hari ini disebut sebagai epistemologi. Misalnya tercermin dalam kata-kata, “Haqaaiq al-ashya’ tsabitatun wal-‘ilm bihaa mutahaqqiqun khilafan li ash-shufastaiyyah.” (Hakikat sesuatu itu adalah tsabit. Dan pengetahuan kita tentang hakikat tadi adalah benar, berbeda dengan para sophist). Jadi, itu merupakan pembahasan soal epistemologi.
Juga bagaimana cara dan sebab musabab manusia menerima ilmu serta dari jalan mana saja memperolehnya atau asbabul-‘ilm. Yakni yang pertama melalui panca indera yang lima. Itulah yang disebut jalan khawasul-khamsah. Dan jalan kedua adalah melalui al-aqlussaliim(akal yang sehat). Dan selanjutnya melalui khabar shaadiq (berita yang benar). Melalui ketiga-tiganya jalan inilah manusia bisa menerima ilmu.
Dalam bahasa kontemporer, dikenal sumber empiris, sumber rasional, dan sumber otoritas. Jadi kita bisa mendapatkan ilmu dengan cara melihat, berpikir, dan menerima berita. “Bagaimana kamu tahu bahwa burung gagak itu hitam?” “Saya melihatnya sendiri.” Melihat itu suatu bukti empiris yang paling dasar.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan Allah-lah yang mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak tahu. Lalu Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan akal fikiran supaya kamu bersyukur.” (Al-Nahl: 78).
Nah, itu yang sering disebut tiga sumber memperoleh ilmu. Pertama, sumber inderawi. Kedua, sumber aqli. Ketiga, sumber yang bersifat khabari.
Penglihatan adalah lambang dari panca inderawi dan pendengaran adalah lambar darikhabar shaadiq, dan akal fikiran adalah lambang dari akal yang sehat. Jalan-jalan inilah yang bisa diperoleh untuk mendapatkan ilmu.
Mengapa para ulama mengatakan begitu untuk memperoleh ilmu?
Karena mereka paham ada epistemologi lain selain itu. Sebab ada yang mengatakan, manusia ini tidak bisa tahu dan tidak bisa sampai pada pengetahuan. Jika premis awal yang kita bangun bahwa manusia tidak bisa tahu, maka pengetahuan, peradaban, dan agama tidak akan ada. Paham ilmu seperti ini disebut sophisme atausufasta’iyyah dan ini sangat ditolak oleh Islam. Inilah yang sering dipelajari dalam ilmu-ilmu filsafat yang keliru itu. Katanya, ilmu yang paling tinggi itu jika kita tidak tahu. Filsafat seperti ini disebut filsafat agnostik atau la adriyah. Katanya, makin tinggi ilmu seseorang, makin dia tak tahu. Dan itu, katanya, puncak dari ilmu.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kebenaran itu ada tetapi relatif dan nisbi. Katanya tergantung orang dan zamannya. Kata mereka pula, kebenaran itu tidak dapat di-share. Betul kata anda, tetapi belum tentu betul menurut saya. Betul bagi zaman dahulu, tetapi belum tentu betul untuk zaman sekarang. Atau betul di tempat lain tetapi tidak betul di tempat lain. Ataupun, betul bagi lelaki tetapi tidak betul bagi perempuan. Akhirnya, secara filosofis, mereka mengatakan, “Karena agama itu dibawa oleh para Nabi yang lelaki, maka mereka tidak paham perempuan.” Kesudahannya, muncullah istilah agama yang bias gender karena itu mereka menganggap perlu penafsiran perempuan.
Jadi, mereka akhirnya masuk pada aliran kaum sophist jenis aliran al-‘indiyyah.Aliran-aliran seperti ini seolah-olah mengatakan, apa yang diketahui perempuan tak bisa diketahui lelaki. Sebaliknya, apa yang diketahui lelaki, tak bisa diketahui perempuan. Juga apa yang diketahui zaman dahulu sudah tidak benar di zaman sekarang. Aqidah seperti ini sangat ditolak dalam Islam, “khilafan li ash-shufastaiyyah” (berbeda pendapat kita dengan para sophist). Jadi, aqidah kita (Islam) bertentangan dengan kaum sophist.
Siapa saja yang disebut kaum sophist?
Mereka terdiri atas tiga golongan. Pertama, kelompok al-la adriyyah (agnostik). Mereka selalu mengatakan tidak tahu dan ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu dan meragukan segala sesuatu.
Kedua, al-‘indiyyah. Mereka mengatakan bahwa ilmu itu bersifat subjektif. Mereka menerima kemungkinan ilmu pengetahuan dan kebenaran tetapi menolak bahwa ilmu bisa dikomunikasikan. Baginya, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif (indi, yaitu “menurut saya”). Jadi, tergantung pendapat masing-masing.
Ketiga, al-inadiyyah (kelompok keras kepala). Mereka menafikan realitas dan menganggapnya sebagai fantasi. Kelompok al-inadiyyah ini disebut sebagai kaum nihilis.
Jika lebih disederhanakan, dimana hubungan epistemologi Islam dengan kondisi pendidikan kita?
Ya, ini terlihat misalnya dari dualisme dalam jurusan pendidikan yang puncaknya sampai ke perguruan tinggi, baik S-1 atau S-2 apalagi S-3. Kita ada jurusan umum dan jurusan agama. Ilmu sains dan ilmu sosial dimasukkan dalam jurusan umum. Pemisahan ini lebih kentara dan lebih parah justru di tingkat perguruan tinggi, sehingga menghasilkan sarjana dan ilmuwan yang split (terbelah). Sebagian sarjana hanya menggunakan sumber-sumber empiris dan rasional untuk mendapat ilmu, dan sebagian yang lain memberi tumpuan pada ilmu-ilmu yang berdasarkan khabar, padahal semua sumber-sumber ilmu itu termasuk dalam epistemologi Islam, sekaligus dalam aqidah Islam.
Apa akibat yang ditimbulkan dari pemisahan semacam ini?
Ada sarjana umum yang memiliki semangat Islam yang tinggi, tetapi tidak terlatih dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadits, Kalam, Ushul Fiqh, Tasawwuf dan lain-lain, akhirnya menghasilkan pendapat-pendapat yang keliru dan menafsirkan ajaran Islam yang sudah mapan dengan tafsiran yang aneh-aneh.
Ada sarjana agama yang terlatih dalam ilmu-ilmu tradisi Islam tetapi silau dengan ilmu-ilmu kontemporer karena tidak pernah mengecapnya, akhirnya minder dan apologetik terhadap ilmu umum lantas menyalahkan ilmu-ilmu agama yang selama ini dipelajarinya.
Malah ada yang merasa tertipu karena belajar agama selama ini. Mereka lantas menganggap ilmu agama itu tidak ada manfaatnya. Inilah akibatnya apabila kita memisahkan ilmu yang bersumber dari inderawi dan aqli di satu sisi, dengan ilmu yang bersumber dari khabari di sisi lain.
Pada dasarnya menurut epistemologi kita, ada dua jenis ilmu secara garis besarnya, yaitu, ilmu yang bisa dicari (kasbi) oleh manusia dengan panca indera dan akalnya, dan ilmu yang diberi (wahbi) dari Tuhan yang masuk dalam diri manusia melaluikhabar sadiq. Kalau yang kasbi bisa kita cari dan bisa kita usahakan sendiri seperti ilmu sains, teknologi, dan humaniora. Tetapi yang wahbi hanya dari wahyu melalui Nabi.
Dengan akal dan inderawi, misalnya, kita tak bisa menjangkau kehidupan setelah mati. Ilmu sains dan teknologi atau ilmu-ilmu rasional lainnya tidak bisa memberikan kepastian dan keyakinan bahwa ada kehidupan setelah mati. Bagi yang terperangkap dengan paham empirisisme atau positivisme bahkan mengatakan bahwa hidup setelah mati itu bohong, karena tidak mempunyai bukti empiris. Tidak ada seorang pun yang mati kemudian hidup lagi lalu bercerita pengalamannya setelah kematian. Karena itu, kaum empirisis selalu berpegang bahwa yang dikatakan ilmu itu hanya apabila bisa dibuktikan secara empiris. Jadi kalau pernyataan wahyu bahwa ada hidup setelah mati itu adalah suatu ilmu, maka ia mesti bisa dibuktikan. Jika tidak, dia tak bisa disebut ilmu, itu cuma kepercayaan, kata mereka.
Begitu juga dengan kaum rasionalis yang hanya mengandalkan akal pikiran untuk mendapatkan ilmu. Padahal, akal manusia itu takluk pada hukum akal. Dalam Islam dikenal tiga hukum akal. Apa yang wajib bagi akal, mustahil bagi akal, dan mungkin bagi akal. Dari segi berpikir, manusia tidak bisa keluar dari hukum tersebut. Misal, “Oh saya ketemu seorang anak yang lebih tua dari ibunya.” Jelas mustahil dan akal kita menolaknya. “saya pergi ke sebuah pulau dan menemukan sebuah segitiga bulat.” Bagaimana akal kita bisa menerima itu? Jelas akal yang sehat akan menolaknya.
Yang wajib bagi akal, misalnya, “Keseluruhan lebih besar daripada sebagian,” atau “Ayah mesti lebih tua daripada anaknya.” Akal kita tidak bisa menolak pernyataan itu. Jadi akal kita wajib menerimanya.
Tetapi ada yang lebih luas selain yang wajib dan mustahil bagi akal. Yakni yang mungkin bagi akal. Misalnya, “Istri yang lebih tua daripada suaminya,” atau yang sebaliknya “suami lebih tua daripada istrinya”. Dalam ruangan yang mungkin bagi akal inilah kecerdasan dan IQ seseorang itu berbeda dengan yang lainnya. Seorang pemain catur yang andal akan melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih banyak untuk memainkan buah caturnya dibandingkan dengan pemain catur yang amatiran.
Nah, dalam ruang lingkup yang mungkin bagi akal inilah khabar datang dan memberi ilmu kepada kita. Contohnya adalah ada kehidupan sesudah mati tadi. Bagi kaum rasionalis sekalipun, dia bisa menerima kebenaran khabar itu sebagai satu kemungkinan. Jadi dia tidak mengatakan wajib atau mustahil bagi akal. Maksudnya, menurut akal semata-mata, mungkin akhirat ada atau mungkin tidak. Karena itu, jika epistemologi berhenti pada akal seperti itu, dia akan menjadi orang yang skeptis atau peragu. “Ah, ada nggak sih akhirat ini?” Dia tidak bisa membuat keputusan yang pasti tentang wujudnya akhirat itu.
Sampai-sampai seorang pemikir rasionalis Perancis, Voltaire, yang nama aslinya Francois Marie Arouet, mengatakan, lebih baik kita hidup di dunia ini dengan baik, kalau-kalau akhirat itu ada. Dia menggunakan teori probabilitas dan mengatakan lebih bagus menjadi orang baik dan tidak jahat. Sebab dia khawatir, jangan-jangan akhirat memang ada. Jika ada, kan dia lebih aman, kalau tidak ada ya tak apa-apa, tidak rugi berbuat baik, katanya ha..ha...
Itulah epistemologi yang hanya berhenti pada akal. Karenanya, Islam tidak seperti itu. Akhirat itu pasti ada. Kewujudan akhirat yang hanya dimungkinkan oleh akal itu ditarjihkanoleh khabar shadiq. Jadi bukan sekedar mungkin, tetapi yakin akhirat itu ada. Kalau nggakyakin juga, ya tunggu aja nanti ha...ha... tapi ketika itu sudah terlambat tentunya. Jadi indera dan akal harus ditambah dengan wahyu, supaya sempurna ilmu kita.
Nah, sistem pendidikan kita masih berkiblat ke Barat dengan pemisahan antara ilmu-ilmu inderawi dan aqli dengan ilmu-ilmu khabari . Sistem ilmu Islam dahulu lebih integrated dan terpadu, sehingga lahirlah ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ar-Razi, dan lain-lain.
Bagaimana caranya agar kesadaran mengajarkan itu tumbuh?
Ya kita mesti memperkenalkan kembali para ulama kita yang mu’tabar (tepat) kepada kaum muslimin. Para sarjana Muslim zaman silam seperti ‘Abdul Qahir Al-Baghdadi (wafat 1037), Abu ‘Umar An-Nasafi (w 1142), Sa’aduddin At-Taftazani (w 1387), dan Nuruddin Ar-Raniri (w 1658) hingga yang kontemporer Syed Muhammad Naquib Al-Attas (lahir 1931) mengajarkan epistemologi Islam secara sistematis. Kita mesti meyakinkan kembali bahwa para ulamalah pewaris Nabi yang memimpin kita ke jalan yang lurus.
Memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peninggalan Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi beliau juga memberikan warisan yaitu para ulama. Kalau keyakinan kita kepada para ulama sudah pudar, maka keyakinan kita terhadap Al-Qur’an dan Sunnah juga akan pudar. Kan untuk memahami Al-Qur’an ada ilmunya, dan untuk memahami Sunnah juga ada ilmunya. Tanpa ilmu-ilmu itu –yang sudah dikembangkan oleh para ulama– mana mungkin kita akan memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan betul?
Ada ulama tafsir, ulama qira’ah, ulama hadits, ulama fiqh, dan ushul fiqh, ulama kalam, ulama bahasa Arab, yang bisa membantu ummat untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan tepat. Kalau kita menolak ulama-ulama itu, dan kononnya kita ingin langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, kita menghadapi resiko reinventing a new wheel (mencipta kembali roda baru) yang tidak perlu dan menghabiskan waktu. Apa yang harus kita lakukan adalah melanjutkan dan meneruskan apa yang telah diwariskan para ulama kepada kita. Ini juga bagian dari epistemologi Islam.
Secara epistemologis, dimana letak kesalahan dan kekeliruan pendidikan kita selama ini?
Adanya pembedaan jurusan umum dan agama saja sudah salah. Itu jelas kekeliruan besar dalam epistelomolgi. Ilmu umum kan landasan dasarnya inderawi dam aqli,sementara ilmu agama landasannya khabar shadiq. Jika dua-duanya kita integrasikan, maka tiga fungsi tadi (inderawi, akal, khabar shadiq) bisa berjalan dengan betul.
Selama ini, orang-orang yang berbasis sekolah umum –dengan pendekatan Barat– hanya dilatih secara inderawi dan akal saja. Sebaliknya, orang-orang di pesantren cuma diasah khabari-nya. Aqli (akal)-nya tidak sempat dilatih. Dia memang bisa dan tahu tentang ilmu agama, tetapi mungkin dia tak tahu perkembangan ilmu inderawi dan aqli. Dua-duanya seharusnya klop. Pemisahan keduanya itu menunjukkan split epistemologi.
Apa bahayanya di kemudian hari atas pemisahan itu?
Misalnya seorang ilmuwan yang haya tahu ilmu umum saja, apabila bicara tentang agama, maka akan ada kecenderungan mengkritik ilmu agama dengan basis ilmu umum itu. Kalau ia pakar biologi misalnya, maka ia akan ketemu teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia itu spesiesnya bukan hasil dari penciptaan Tuhan, tetapi tetapi berevolusi dari makhluk yang lebih rendah strukturnya. Kalau ilmuwan ini bertahan dengan kepercayaan agamanya, maka ia akan menjadi seorang dualis tanpa mampu meletakkan ilmu agama itu lebih tinggi daripada ilmu biologinya. Atau mungkin ia akan menjadi Darwinis dan tidak mempercayai adanya penciptaan manusia, walaupun ia masih shalat, puasa, pergi haji. Bukankah banyak kita temukan hari ini, ilmuwan Muslim tetapi Marxis, Sophist,dan lain-lain.
Sebaliknya, jika dia hanya belajar agama saja, dia akan tertinggal dari segi kehidupan duniawi. Hukum fiqh misalnya, dia adalah paduan antara ilmu khabari dan ilmurealty (realita). Jadi, gabungan antara khabari, inderawi, dan akal akan menghasilkan fiqh. Kalau pengamatan kita terhadap realitas itu minim, kemungkinan hukum fiqh yang dihasilkan atau yang dikeluarkan tidak sempurna.
Contohnya?
Banyak perkembangan terbaru di dunia, sebut saja genetic engineering(rekayasa genetik), organ transplansi, kloning, dan sebagainya. Sebelum diputuskan hukumnya, itu harus diketahui hakikatnya dulu secara mendalam. Tidak sekadar orang yang hanya belajar fiqh, tanpa ilmu kedokteran, yang mengeluarkannya. Sekadar diberi tahu saja tidak tepat kalau tidak mendalami kedua-duanya.
Yang peling sempurna, dia seorang yang faqih (paham agama) sekaligus ahli dalam dunia kedokteran. Jadi, jika hanya berpegang pada dokter ahli itu tidak cukup, sebab dia tidak mengerti prinsip-prinsip Ushul-Fiqh misalnya. Sebaliknya, yang bisa Ushul-Fiqhtidak tahu masalah dan perkembangan modern di dunia kedokteran.
Ulama-ulama kita dulu ahli fiqh juga ahli kedokteran. Sebut saja misalnya Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ar-Razi. Ulama-ulama kita dulu, selain ahli ekonomi, sosial, astronomi, dia juga seorang faqih. Jadi, harus integrated (terpadu).
Yang kita saksikan hari ini, ketika datang serangan paham materialisme, sekularisme, dan liberalisme dari Barat, kita goyah. Karena memang sejak awal kita tak paham dengan itu. Ini berbeda dengan para ulama kita zaman dahulu. Ketiga landasan ilmunya–antara inderawi, akal, dan wahyu–sudah kuat. Jika dihadapkan dengan paham materialisme, mereka sudah tahu.
Apa bedanya ilmu yang integrated dengan “Islamisasi ilmu” yang pernah dilontarkan Naquib Al-Attas?
integrasi adalah sebagian dari Islamisasi ilmu. penyatuan antara sumber-sumber ilmu inderawi, akli dan khabari dalam diri kita, kemudian kita tempatkan ilmu-ilmu yang dihasilkannya pada tempatnya adalah di antara proses Islamisasi ilmu. Ilmu yang datang dari wahyu sudah tentu menduduki tempat yang paling tinggi, sementara ilmu yang empiris dan rasional membantu memperkukuh wahyu. Jadi ilmu fardhu ‘ain kita letakkan pada tempatnya, begitu juga dengan yang fardhu kifayah. Walaupun kita mesti satukan, kedua ilmu itu mempunyai martabat yang berbeda.
Menurut Naquib Al-Attas juga, Islamisasi ilmu juga bermakna dewesternisation of knowledge (membuang pengaruh-pengaruh epistemologi Barat dari ilmu-ilmu kontemporer). Karena banyak yang disangka ilmu hari ini, sebenarnya hanyalah pandangan-pandangan Barat terhadap pengetahuan tertentu.
Yang Anda sebut dengan istilah fardhu ‘ain dan fardhu kifayah itu yang mana?
Ilmu yang fardhu ‘ain diantaranya adalah ilmu-ilmu agama. Karenanya, seorang Muslim wajib mengetahuinya. Sebab dia beragama Islam. Jika dia tidak tahu, maka agamanya kurang sempurna. Ilmu-ilmu itu wajib diketahui karena dia seorang Muslim. Jadi, harus ada yang dia ketahui karena keislaman dia. Sementara ilmu-ilmu yang lain adalahfardhu kifayah.
Ilmu yang fardhu ‘ain fungsinya untuk diri kita, sementara ilmu yang fardhu kifayah untuk menyelamatkan umat manusia. Nah, kita selama ini hanya satu saja. Yangfardhu ‘ain (agama) itu saja, atau kebalikannya, pilih fardhu kifayah (umum) ya umum saja seumur hidup. Akibatnya umat Islam tidak berperan seperti dahulu dalam kepemimpinan ilmu.
Anda ahli ekonomi Islam sekaligus Ilmu Hadits. Bagaimana bisa begitu?
Ilmu yang selama ini saya dapat hanyalah ilmu yang fardhu kifayah. Saya merasa belum lengkap dan harus didukung yang fardhu ‘ain. Karena itulah timbul dorongan mempelajari ilmu-ilmu Islam. Dan ilmu Islam ini bagi orang Islam hukumnya wajib.
Orang Islam yang sadar dengan keislamannya akan terpanggil untuk belajar ilmu-ilmu agama. Dia pasti ingin tahu apa itu Al-Qur’an dan apa itu Hadits. Sebab, itu adalah sumber agama kita. Jadi mesti kita belajar umum, jika diberi kesempatan belajar ilmu-ilmu agama, insya Allah bisa. Orang yang pintar matematika, misalnya, jika diminta menekuni bidang hadits pasti bisa. Masalahnya, sistem pendidikan kita di sini (Indonesia –red) tidak memberikan kesempatan untuk itu. Di ISTAC, kesempatan seperti itu ada, meski saya merasa ilmu saya tidak terlalu tinggi dibanding orang lain.
Sejak kapan Anda belajar bahasa Arab?
Sejak kecil, sebenarnya sejak di madrasah. Saya sekolah dua, di madrasah dan juga sekolah umum (SD, SMP, dan SMA). Di universitas juga saya masih belajar bahasa Arab. Ketika saat masuk ISTAC, saya di tes bahasa Arab lagi dan belajar lagi selama 3 semester. Di ISTAC, untuk memperoleh gelar semester, harus menempuh bahasa Arab 6 level. Dan untuk program doktor harus mengambil 9 level atau 9 semester. Alhamdulillah,saat dites saya lolos masuk peringkat master. Cuma untuk program doktor harus mendalami lagi. Dan saya sangat suka bahasa Arab.
Apa sih rahasianya agar tetap punya semangat tinggi untuk belajar seperti itu?
Rahasianya adalah kita ingin benar-benar paham hakikat agama yang kita peluk ini. Sebab Al-Qur’an kita berbahasa Arab, kitab-kitab hadits kita berbahasa Arab. Bahkan shalat dan doa kita pun berbahasa Arab. Nah, kalau kita ingin meningkat ilmu kita, ya harus belajar bahasa Arab.
Yang sering dilupakan banyak orang, kita ini sudah lebih dahulu Muslim sebelum menjadi seorang dokter, insinyur, atau ekonom. Karena itu, sepatutnya ilmu yang Muslim harus ditingkatkan juga.
Sejak kapan Anda belajar ilmu hadits?
Sebenarnya sejak kuliah S-1 dengan Prof Udah Muhsin, seorang sarjana hadits lulusan Universitas Al-Azhar. Namun sejak di ISTAC minat saya terhadap sejarah hadits khususnya makin kuat. Tetapi saya ini tidak ada apa-apanya dibanding ahli hadits dan orang-orang yang lebih otoritatif di bidang hadits. Dibanding tokoh-tokoh lain, seperti Prof Dr MM Azami, saya ini hanya di bawah telapak kaki mereka. Kebetulan saja saya pernah diminta mengajar dan sejarah metodologi hadits di ISTAC.
Anda kan ekonom, bagaimana bisa mengajar hadits?
Kebetulan disertasi saya adalah “Early Discourse on Islamic Public Finance” studi tentang “Kitabul-Amwal”-nya Abu Ubayd. Nah, kitab Kitabul- Amwal ini kan memang banyak hadits-haditsnya. Saya sendiri juga sangat minat pada hadits. Kebetulan juga, ISTAC memberikan kesempatan pada saya melakukan penelitian bidang hadits. Jadi, yang saya ajarkan itu karena saya melakukan penelitian.
Kini saya sudah dimasukkan lagi ke fakultas ekonomi di International Islamic University Malaysia (IIUM). Di sini saya juga mengajar Ushul Fiqh untuk mahasiswa ekonomi dalam bahasa Inggris. Saya juga mengajar Fiqh Muamalah dalam bahasa Inggris.
Apa bedanya ISTAC dengan perguruan tinggi lain?
Bedanya dengan perguruan tinggi lain, latar belakang S-1 apa saja boleh masuk ISTAC, asalkan bersedia mengikuti program studi yang ditawarkan. Kalau perguruan tinggi lain, kalau dia dari S-1 Ekonomi tidak akan boleh masuk fakultas Syari’ah atau mengambil jurusan Hadits. Jika anda tidak S-1 Ekonomi, mana boleh mengambil Master Bidang Ekonomi? Jadi, sistem yang dipakai ISTAC itu integrated (integral).
Kalau di perguruan tinggi yang lain barangkali program S-1-nya sudah integral, tetapi S-2 dan S-3-nya justru spesialisasi. Nah, model pendidikan yang integeral seperti ini harusnya dipakai untuk program S-2 dan S-3 di perguruan tinggi Islam.
Wallahu a'lam bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar